Prolog
“Sudahlah aku gak mau teruskan, semua ini gara-gara kamu dulu yang mulai ““Kenapa hal yang sama selalu kau ungkit-ungkit bukankah itu juga bukan semata-mata salahku, kontribusimu tidak kecil dalam kejadian itu!” seruku juga dengan nada yang tak kalah tingginya.
Dalam sunyi setelah perang kata-kata entah mengapa nalar dan konsentrasiku berkurang. Hujan deras yang menyelubungi mobil kami seakan-akan turut menumpahkan kemarahannya dan biasanya hal ini cukup menjadi peringatan agar aku hati-hati, akan tetapi lurusnya jalan menuju ke luar kota seakan-akan memintaku untuk tetap mempertahankan kecepatan mobil.” Pras hentikan dulu, aku mau bicara serius,” kudengar Rini mulai lagi bicara.Tapi emosiku yang masih memuncak tidak menanggapinya, bahkan mobil kupacu lebih kencang lagi menanggapi permintaannya.
Tak terduga dalam amarahnya tangan kecil Rini berusaha merebut kemudi, refleks aku pertahanan lintasan mobil yang menjadi oleng akan tetapi licinnya jalan membuat mobil melaju melewati batas jalan ke bagian yang berbatu, dengan cepat aku banting kemudi untuk menghindari mobil terjerumus lebih jauh. Akan tetapi tingginya permukaan aspal dibandingkan permukaan berbatu di samping jalan membuat kemudi membalik cepat dan tidak bisa kupertahankan. Dan mobilpun tanpa dapat dicegah meluncur deras menuruni bukit masuk ke rerimbunan pohon serta baru berhenti setelah dengan suara keras menghantam sebuah pohon besar.
Dunia gelap yang tiba-tiba menyelubungiku perlahan-lahan mulai sirna. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri tapi seraut wajah yang memiliki kecantikan yang khas membuatku dengan cepat memperoleh kembali kesadaranku. ”eh....siapakah anda, dan ada dimana aku?”
Dengan tanpa berkedip mataku terus tertuju padanya, seorang wanita yang cantik, sepertinya baru kali ini aku menemui kecantikan yang seperti ini, benar-benar melebihi yang sering kali dibayangkan. Bahkan artis-artis paling cantikpun yang selalu dikontrak jadi iklan produk sabun terkemuka tidak bisa menandingi wanita ini.
Sepasang matanya yang melebihi bening daripada mata ikan emas, rambutnya yang panjang dan hitam terurai dengan indahnya, alis yang panjang kecil dan hitam sekali di atas kulit muka yang putih kemerahan, hidung yang kecil, mulut yang manis, kulit putihnya yang bak batu pualam ah.....bukan main, sungguh akan membuat siapapun wanita yang melihatnya akan iri setengah mati.
” Syukurlah engkau cepat sadar, kita harus segera bersembunyi pasukan musuh yang banyak itu pasti tidak akan bisa ditahan oleh paman Aryawisesa,” ujarnya dengan napas memburu.Meskipun masih agak pening aku segera bangkit ”ba...baiklah tapi kemana kita pergi?eh siapa itu yang tergeletak disana”. ”Oh itu...kayaknya senopati Majapahit, ilmunya sangat tinggi. Tapi untung disaat aku sangat terdesak entah bagai mana caranya engkau datang menghantamnya sehingga kalian berdua tidak sadarkan diri. Eh mana pedangmu, sebaiknya kau bawa pedang senopati itu sehingga kita bisa lebih baik bila harus mempertahankan diri dari pasukan musuh".
Sambil berjalan untuk mengambil pedang yang tergeletak, tanpa diduga wanita cantik dan lemah gemulai bak putri keraton itu dengan gerakan yang tangkas menusukkan sesuatu ke badan sang senopati . Hanya seleret sinar putih yang dapat kulihat dan dalam sekejap sudah kembali masuk ke sarungnya di pinggang sang putri, sungguh gerakan yang indah tapi dampaknya mematikan karena kemudian darah membanjir membasahi badan senopati yang kelihatannya sudah berakhir hidupnya.
” Ini pedangmu, ayo kita cepat pergi”, dengan tanpa menoleh lagi sang putri segera bergegas meninggalkan tempat itu. Mau tidak mau aku segera berlari mengikutinya. Dalam diam kami terus berjalan cepat setengah berlari hanya napas ku-lah yang semakin lama semakin terdengar keras. Meskipun begitu hasil latihan aku berlari di Monas seminggu tiga kali tidaklah mengecewakan. Dengan konsisten Aku masih dapat mengikuti langkah-langkah cepat kaki sang putri.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home